Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) merupakan seruan yang menggema pada masa Orde Lama, tepatnya pada tahun 1966. Tritura menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Artikel ini akan mengupas secara mendalam latar belakang munculnya Tritura dan dampaknya terhadap perjalanan sejarah Indonesia.
Kondisi Politik dan Ekonomi Indonesia Pasca Kemerdekaan
Pada awal masa kemerdekaan Indonesia, kondisi politik dan ekonomi berada dalam keadaan yang tidak stabil. Konflik internal dan pemberontakan yang terjadi di berbagai daerah membuat pemerintahan menjadi lemah dan tidak efektif. Selain itu, perekonomian Indonesia juga mengalami stagnasi, dengan inflasi yang tinggi dan kemiskinan yang meluas.
Pemerintahan Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan terpusat pada presiden. Namun, sistem ini justru memicu korupsi dan nepotisme, sehingga semakin memperburuk kondisi masyarakat. Kekecewaan rakyat terhadap pemerintahan semakin memuncak seiring dengan meningkatnya kesenjangan sosial dan ekonomi.
Peristiwa yang Memicu Tritura
Salah satu peristiwa yang memicu kemunculan Tritura adalah pembubaran Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun 1960. Pembubaran MPRS merupakan langkah Soekarno untuk menguatkan kekuasaannya, namun hal ini justru memicu reaksi keras dari mahasiswa dan kelompok oposisi.
Selain itu, penerapan Undang-Undang Landreform yang bertujuan untuk membagi tanah kepada petani justru menimbulkan konflik agraria. Kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut menambah kekecewaan rakyat.
Puncak ketegangan terjadi pada tanggal 7 Juli 1966, ketika terjadi bentrokan antara mahasiswa dan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Insiden yang dikenal sebagai "Peristiwa Arief Rachman Hakim" tersebut menewaskan seorang mahasiswa bernama Arief Rachman Hakim.
Perumusan Tritura
Kematian Arief Rachman Hakim menjadi pemicu mahasiswa untuk turun ke jalan dan menuntut keadilan. Pada tanggal 10 Januari 1966, para mahasiswa berkumpul di Lapangan Banteng, Jakarta, dan merumuskan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu:
- Bubarkan PKI!
- Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI!
- Turunkan harga bahan bakar dan kebutuhan pokok!
Tritura menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap pemerintahan Soekarno yang dianggap korup dan tidak demokratis. Seruan tersebut mendapat dukungan luas dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari mahasiswa, buruh, hingga kelompok oposisi.
Dampak Tritura
Tritura memiliki dampak yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah Indonesia. Tritura menjadi titik awal pergerakan mahasiswa yang semakin kritis dan vokal terhadap kekuasaan. Selain itu, Tritura juga menjadi faktor pendorong terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang memberikan kekuasaan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Supersemar menjadi awal dari berakhirnya kekuasaan Soekarno dan dimulainya masa Orde Baru.
Masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto memang berhasil menciptakan stabilitas politik dan keamanan. Namun, Orde Baru juga diwarnai dengan otoritarianisme dan pembungkaman terhadap kelompok oposisi.
Relevansi Tritura di Masa Kini
Meski telah lebih dari 50 tahun berlalu, Tritura tetap relevan dengan kondisi Indonesia saat ini. Dalam era demokrasi, mahasiswa masih memiliki peran penting sebagai agen perubahan dan kontrol sosial. Sementara itu, tuntutan untuk memberantas korupsi, menciptakan pemerintahan yang bersih, dan memperjuangkan kesejahteraan rakyat masih menjadi isu krusial yang harus disuarakan.
Semangat Tritura menjadi pengingat bagi kita semua bahwa perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan demokratis adalah sebuah proses yang berkelanjutan. Rakyat harus tetap kritis terhadap kekuasaan dan tidak ragu untuk menyuarakan aspirasi mereka demi terwujudnya Indonesia yang lebih baik.